Jumat, 30 September 2011

GALAUNYA SEORANG ABG

ABG itu akhirnya tiba di depan rumah. Setelah dua hari sebelumnya menelpon meminta waktu bertemu. “Pak Fikri, ada waktu nggak, aku mau maen ke rumah, bisanya kapan.” nada berharap terdengar di BB. “Saya sedang di Jogja nih, Insya Allah malam Rabu saya bisa, datang aja.” Jawabku waktu itu.
Wajahnya tak jauh berbeda ketika setahun yang lalu kita bertemu. Lebih tinggi dari saya sekarang. Itulah yang sangat kentara perbedaannya. Anak sekarang memang pada “bongsor” ya gumam saya dalam hati.
Dengan kacamata yang khas sang ABG nampak kikuk menyalami saya setelah memberi salam saat pintu saya buka. Saking kikuknya dia menyalami saya lagi setelah dipersilahkan duduk. “Minal ‘aidin pak.” Suaranya parau.
“Wah kamu tambah ganteng aja, makin tinggi pula.”guyonan saya mencoba memecah kebekuan. Setelah berbasa-basi, dia pun mulai bercerita mengalir begitu saja. Sambil ditemani snack dan penganan lebaran yang masih ada, senda gurau pun terus menghiasi suasana. Sampai pada akhirnya ia memulai sebuah pembicaraan serius.”Pak, kemarin saya reunian dengan teman-teman SD, parah pak, teman saya ada yang keliatan makin ancur.” Ucapnya dengan nada prihatin. “Dulu dia sohib banget pak, gimana cara nasehatinnya ya pak.” Tambahnya.

Dia pun menceritakan temannya dengan nada sedih. Teman SD nya tersebut digambarkan sekarang penuh tindik di telinga, merokok (bukan sekedar rokok biasa katanya), jarang sekolah, lebih suka nongkrong sama teman-temannya yang sekarang jauh dari rumah, jarang pulang. Informasinya sang ortu juga sudah kewalahan menghadapinya, demikian pula sang kakak yang juga berlepas tangan dengan kondisi tersebut.
Nampak sekali tamuku malam itu sangat peduli dengan teman SD nya tersebut. Keinginannya untuk membantu sangat kuat. Hal tersebut dia tunjukkan dengan terus berkomunikasi meski hanya melalui SMS. ”Males pak, kalo di telpon, suka ngaco ngomomgnya, gak jelas gitu.” Ungkapnya beralasan. Harapannya untuk bisa bertemu dengan teman SD nya pun sering diupayakan, namun selalu gagal tanpa alasan yang jelas dari sang teman.
Yang menarik bagi ku adalah bahwa sang ABG yang bertandang ke rumahku juga mengalami hal yang sama. Gonta-ganti sekolah, merokok, suka bolos sekolah, konflik dengan keluarga, dsb. Saya ketahui informasi tersebut dari teman-teman dan pengakuan jujur dari dirinya sendiri. Belakangan orang tuanya pun meng iya kan info tersebut. Jadi menarik karena di tengah-tengah masalah yang terjadi dalam dirinya sendiri ia masih care dengan teman SD nya. Apakah karena perasaan senasib, atau dia merasa lebih beruntung dari temannya tersebut.

Memang bukan hal yang mudah memahami dunianya para ABG. Bagaimana tidak, Segudang masalah harus mereka hadapi secara bersamaan dari mulai peer pressure, bahkan bullying dalam pergaulan sehari-hari, keinginan memenuhi harapan ortu, ingin bisa eksis diakui orang lain terutama teman sebaya, segudang mata pelajaran yang harus dihafal, masa pubertas secara biologis, hambatan komunikasi, pola asuh yang kurang tepat, dan sebagainya. 

Saya membayangkan apa yang mereka hadapi sesungguhnya lebih berat dari memimpin perusahaan bahkan jadi Presiden sekalipun. Kalo di perusahaan sang pimpinan memiliki tim yang kuat dengan planning yang matang, berikut antisipasi risiko yang bakal dihadapi. Demikian pula bagi seorang Presiden. Bagaimana dengan seorang anak ABG? Adakah dia memiliki tim yang kuat untuk menghadapi segudang masalahnya, adakah ia punya planning yang matang menjalani itu semua, adakah ia mempersiapkan diri menghadapi segala risiko yang bakal menjadi konsekuensinya. 

Nampaknya mereka butuh seorang konselor, juru bicara, manager dan staff sekaligus agar bisa survive di dunianya sekarang. Namun, jelas, mereka tidak punya dana untuk membayar itu semua. Yah, kita lah para orang tua yang harus berperan sebagai konselor, juru bicara, manager dan staff sekaligus. Bukan sebagai jaksa yang mencari-cari kesalahan dan kelemahan, bukan juga sebagai hakim yang hanya bisa memutuskan dengan aturan yang kaku dan tak membumi, bukan juga sebagai polisi yang lebih banyak mengatur dan menindak setiap pelanggaran.

Sebagai seorang ayah yang memiliki seorang anak putra dan 3 orang putri, saya pun mencoba merenungi situasi seperti ini. Sambil bergumam dalam hati “lebih mudah menjadi ayah, daripada menjadi teman bagi anak-anak saya.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar