Jumat, 29 Oktober 2010

AWAS RACUN DI LOKASI PENGUNGSIAN

Bencana selalu saja menyisakan duka. Bisa karena kehilangan orang yang dicintainya atau kehilangan harta benda yang diperolehnya dengan susah payah.

Meregangnya nyawa akibat bencana menjadi fenomena menarik, terutama bagi kalangan media. Bad news is a good news nampaknya dijadikan pembenaran sesaat.
Lihat saja di Padang di saat gempa melanda beberapa tahun yang lalu. Ambacang, sebuah hotel yang runtuh seolah memiliki magnet yang luar biasa, tiada henti disajilkan di layar kaca.
Terakhir, ditemukannya puluhan korban wedhus gembel dijadikan konsumsi publik, tak peduli para pengungsi yang sedang cemas juga turut menyaksikannya pun semakin resah dibuatnya.

Sadar atau tidak eksploitasi kesedihan selalu saja diberitakan dan menjadi pelengkap derita. Para korban bencana pun semakin menikmati “racun” dalam jiwanya. Semakin kronis luka deritanya.

Tak berhenti sampai di situ. Racun lain juga kerap menghantui tubuh para penghuni pengungsian. Pasalnya kiriman logistlk berupa mie instan seakan jadi menu wajib yang tak dapat ditolak. Sehari dua hari mungkin darurat. Namun biasanya bahkan hingga bulanan. Tiada hari tanpa mie instan.

Racun-racun itu kini menggerogoti mereka yang selamat dari bencana. Namun sesungguhnya merekapun mati secara perlahan. Mati karena secara mental dihantui tayangan duka dan kesedihan, mati karena terpaksa mengkonsumsi makanan yang membahayakan.

Tolong jangan racuni mereka lagi, tolong selamatkan mereka. Bangkitkan mental mereka dengan informasi yang menghibur dan menggairahkan. Sehatkan mereka dengan makanan yang layak gizi dan ramah di pencernaan. Agar mereka tak menjadi korban untuk yang kesekian kalinya. Korban ketidak pedulian.

———-
Ditulis di atas kapal Labobar yang penuh sesak dengan mie instan bantuan bencana Mentawai dan di sela-sela tayangan televisi menyayat hati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar