ABG itu akhirnya tiba di depan rumah. Setelah dua hari
sebelumnya menelpon meminta waktu bertemu. “Pak Fikri, ada waktu nggak, aku mau
maen ke rumah, bisanya kapan.” nada berharap terdengar di BB. “Saya sedang di
Jogja nih, Insya Allah malam Rabu saya bisa, datang aja.” Jawabku waktu itu.
Wajahnya tak jauh berbeda ketika setahun yang lalu kita
bertemu. Lebih tinggi dari saya sekarang. Itulah yang sangat kentara
perbedaannya. Anak sekarang memang pada “bongsor” ya gumam saya dalam hati.
Dengan kacamata yang khas sang ABG nampak kikuk menyalami saya setelah memberi salam saat pintu saya buka. Saking kikuknya dia menyalami saya lagi setelah dipersilahkan duduk. “Minal ‘aidin pak.” Suaranya parau.
Dengan kacamata yang khas sang ABG nampak kikuk menyalami saya setelah memberi salam saat pintu saya buka. Saking kikuknya dia menyalami saya lagi setelah dipersilahkan duduk. “Minal ‘aidin pak.” Suaranya parau.
“Wah kamu tambah ganteng aja, makin tinggi pula.”guyonan
saya mencoba memecah kebekuan. Setelah berbasa-basi, dia pun mulai bercerita
mengalir begitu saja. Sambil ditemani snack dan penganan lebaran yang masih
ada, senda gurau pun terus menghiasi suasana. Sampai pada akhirnya ia memulai
sebuah pembicaraan serius.”Pak, kemarin saya reunian dengan teman-teman SD,
parah pak, teman saya ada yang keliatan makin ancur.” Ucapnya dengan nada
prihatin. “Dulu dia sohib banget pak, gimana cara nasehatinnya ya pak.”
Tambahnya.
Dia pun menceritakan temannya dengan nada sedih. Teman SD
nya tersebut digambarkan sekarang penuh tindik di telinga, merokok (bukan
sekedar rokok biasa katanya), jarang sekolah, lebih suka nongkrong sama
teman-temannya yang sekarang jauh dari rumah, jarang pulang. Informasinya sang
ortu juga sudah kewalahan menghadapinya, demikian pula sang kakak yang juga
berlepas tangan dengan kondisi tersebut.
Nampak sekali tamuku malam itu sangat peduli dengan teman SD
nya tersebut. Keinginannya untuk membantu sangat kuat. Hal tersebut dia
tunjukkan dengan terus berkomunikasi meski hanya melalui SMS. ”Males pak, kalo
di telpon, suka ngaco ngomomgnya, gak jelas gitu.” Ungkapnya beralasan.
Harapannya untuk bisa bertemu dengan teman SD nya pun sering diupayakan, namun
selalu gagal tanpa alasan yang jelas dari sang teman.
Yang menarik bagi ku adalah bahwa sang ABG yang bertandang
ke rumahku juga mengalami hal yang sama. Gonta-ganti sekolah, merokok, suka bolos
sekolah, konflik dengan keluarga, dsb. Saya ketahui informasi tersebut dari
teman-teman dan pengakuan jujur dari dirinya sendiri. Belakangan orang tuanya
pun meng iya kan info tersebut. Jadi menarik karena di tengah-tengah masalah
yang terjadi dalam dirinya sendiri ia masih care dengan teman SD nya. Apakah
karena perasaan senasib, atau dia merasa lebih beruntung dari temannya
tersebut.
Memang bukan hal yang mudah memahami dunianya para ABG.
Bagaimana tidak, Segudang masalah harus mereka hadapi secara bersamaan dari
mulai peer pressure, bahkan bullying dalam pergaulan sehari-hari,
keinginan memenuhi harapan ortu, ingin bisa eksis diakui orang lain terutama
teman sebaya, segudang mata pelajaran yang harus dihafal, masa pubertas secara
biologis, hambatan komunikasi, pola asuh yang kurang tepat, dan sebagainya.
Saya membayangkan apa yang mereka hadapi sesungguhnya lebih
berat dari memimpin perusahaan bahkan jadi Presiden sekalipun. Kalo di
perusahaan sang pimpinan memiliki tim yang kuat dengan planning yang matang,
berikut antisipasi risiko yang bakal dihadapi. Demikian pula bagi seorang
Presiden. Bagaimana dengan seorang anak ABG? Adakah dia memiliki tim yang kuat
untuk menghadapi segudang masalahnya, adakah ia punya planning yang matang
menjalani itu semua, adakah ia mempersiapkan diri menghadapi segala risiko yang
bakal menjadi konsekuensinya.
Nampaknya mereka butuh seorang konselor, juru bicara,
manager dan staff sekaligus agar bisa survive di dunianya sekarang. Namun,
jelas, mereka tidak punya dana untuk membayar itu semua. Yah, kita lah para
orang tua yang harus berperan sebagai konselor, juru bicara, manager dan staff
sekaligus. Bukan sebagai jaksa yang mencari-cari kesalahan dan kelemahan, bukan
juga sebagai hakim yang hanya bisa memutuskan dengan aturan yang kaku dan tak
membumi, bukan juga sebagai polisi yang lebih banyak mengatur dan menindak
setiap pelanggaran.
Sebagai seorang ayah yang memiliki seorang anak putra dan 3
orang putri, saya pun mencoba merenungi situasi seperti ini. Sambil bergumam
dalam hati “lebih mudah menjadi ayah, daripada menjadi teman bagi anak-anak
saya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar