Dalam sebuah studium general
di kampus calon guru seorang nara sumber pernah menyampaikan data bahwa
hanya 23 % lulusan kampus di bilangan Rawamangun itu yang kemudian
berprofesi menjadi guru. Jadi apa, sisanya ? sebagai salah seorang almamater dari Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) tersebut saya sendiri cukup penasaran dengan data tersebut.
Yang
saya ingat ketika di kampus dulu, saya beberapa kali bertanya ke pada
teman-teman, apakah mereka berencana menjadi guru kelak ? 4 dari 10
menjawab ya. Sisanya beragam, ada yang berencana menjadi wartawan foto,
membuka usaha kuliner, mendirikan percetakan, menjadi konsultan, bisnis
ini dan itu. Seolah mengamini data pada studium general tersebut.
Setelah
lulus dari kampus IKIP Jakarta tercinta, sayapun segera mengejar
peluang mengisi posisi guru diberbagai sekolah swasta maupun negeri,
baik nasional maupun nasional plus (internasional). Terasa tanpa hambatan, sayapun diterima disebuah sekolah nasional plus yang berlabelkan Montessory School
di daerah Jakarta Selatan. Menyenangkan sekali rasanya menjadi guru.
Dapat mengaplikasikan ilmu dan membantu orang lain meraih ilmu. Dapat
penghasilan sekaligus beramal.
Kuhubungi
beberapa teman seangkatan. “Mengajar di mana sekarang ?” sebuah
pertanyaan yang saya lontarkan setiap kali berkomunikasi dengan mereka.
Lagi-lagi hanya 30 % an dari mereka yang menjawab,”Saya jadi guru di… .”
selebihnya menjawab bahwa mereka sedang mengerjakan sebuah proyek,
sedang bisnis pertanian di daerah anu atau belum dapat pekerjaan.
Tahun 2005 setelah 3 tahun lulus dari kampus yang kini berlabel UNJ itu. Saya masih penasaran dengan rekan-rekan se almamater.
Pada saat itu saya telah bergabung dengan komunitas Sekolah Islam
Terpadu. Beberapa teman, saya dapati telah meraih cita-citanya dulu.
Menjadi wartawan, berwiraswasta, menjadi pegawai kantoran, dan
sebagainya. Pada saat yang bersamaan, saya bertemu dengan banyak teman
kampus, yang kini mengajar di sekolah-sekolah Islam Terpadu. Hitungannya
kini, lebih banyak teman saya yang telah menjadi guru.
Suatu ketika seorang ayah dari murid saya berkesempatan ngobrol di sela-sela sebuah kegiatan di sekolah. Beliau menyatakan bahwa dirinya adalah satu almamater dengan saya, beda angkatan saja. Angkatan tua katanya. Masih
cerita beliau, bahwa dulu ia ingin sekali menjadi guru. Pasalnya ia
mendapat informasi bahwa seorang guru mendapat penghasilan Rp 7.500 per
jamnya saat itu. Iapun kemudian mengkalkulasi, berapa rupiah yang akan
ia terima dalam sebulannya. Jika dalam satu pekan dapat mengajar
sebanyak minimal 12 jam. Dengan asumsi 2 jam dalam sehari, dikali 6 hari
dalam seminggu, dikali 4 minggu dalam sebulan, maka dia akan meraih 2
jam X 6 hari X 4 pekan x Rp 7.500 = Rp 360.000. Sebuah
nominal yang lumayan menurutnya pada saat itu. Selepas kuliah, iapun
melamar ke sebuah sekolah dan kemudian diterima menjadi seorang guru.
Dalam kontrak kerjanya ia mendapatkan nilai nominal per jam mengajar tak
jauh dari perkiraannya semula, Rp 7.000. cukuplah bagi
seorang pemula gumamnya. Ketika sebulan telah berlalu, tiba saatnya ia
menerima honor.
Betapa kagetnya karena ia hanya membawa pulang
seperempat nilai yang telah ia perkirakan. Singkat kata iapun
mengklarifikasi ke beberapa rekan guru. Ternyata iapun semakin kaget,
karena para guru menyatakan bahwa memang demikian perhitungan yang
sesungguhnya. Iapun menggerutu dalam hati, “Kalau begitu mengajar sebulan, di bayar satu minggu dong !”. walhasil iapun banting setir, yang kemudian kini menjadi pengusaha automotive. “Singkatnya banyak orang enggan menjadi guru lantaran income
yang kurang dari cukup, terlebih lagi dengan gambaran pekerjaan yang
terbilang cukup merepotkan, terutama menjadi guru SD”, pungkasnya.
Saya
menarik nafas panjang mendengarkan ceritanya. Tak pernah sedikitpun,
kemudian terbetik berhenti menjadi guru. Saya sendiri tak bisa
menjelaskan dengan pasti, mengapa hingga detik ini masih bertahan
menjadi guru. Dari beberapa diskusi dengan teman-teman, mereka sudah
menganggap final tentang profesi guru. ”Gak bisa bikin kaya !”. Untuk
itu jangan berharap menjadi orang kaya dengan menjadi guru. Memang ada
yang tidak setuju dengan pendapat ini. Alasannya, banyak guru yang
sukses dan kemudian menjadi kaya. Menurut saya mereka yang kemudian
menjadi kaya, lantaran melakukan aktivitas lain di luar core bussinessnya
menjadi guru di sebuah sekolah, seperti terlibat dalam aktivitas MLM,
bisnis pada sektor riil atau yang masih berkaitan dengan pendidikan
seperti membuka lembaga kursus, memberikan les privat, mencetak modul,
alat belajar atau peraga dan sebagainya. Dengan kata lain kekayaan
materi tersebut diraih diluar profesi utamanya menjadi guru. Saat
berdiskusi tentang hal ini, seorang kawan lain ada yang rada sinis berseloroh,”Ada juga loh
yang dapat kelebihan materi dari - belas kasih - orang tua siswa ?!”.
Ya, meskipun faktanya ada, tetapi sangat jarang dan cenderung kasuistik,
yang biasanya merupakan ungkapan bahagia secara berlebihan dari orang
tua murid yang merasa terpuaskan.
Menjadi
fasilitator training dan workshop para guru adalah keseharian saya
kini, tetapi menjadi guru di sebuah sekolah tetap saja saya jalani.
Salah satu yang membuat saya semakin yakin adalah testimony para guru yang kujumpai di berbagai daerah. Mereka menyatakan bahwa ada sebuah ”keberkahan” dan ”keselarasan”
dari kehidupan mereka sehari-hari. Meskipun tak jarang, mereka
mengawali profesi sebagai guru atas sebuah keterpaksaan. Terpaksa karena
tak ada lagi pekerjaaan, terpaksa karena tak ada lagi orang lain yang
mau menjadi guru di daerahnya, terpaksa karena ia gregetan
melihat kondisi pendidikan yang ada, terpaksa karena kurangnya perhatian
pemerintah pada sekolah-sekolah di lingkungannya, terpaksa karena
lulusan LPTK banyak yang enggan menjadi guru dan banyak lagi
hal-hal yang memaksa mereka untuk menjadi guru. Namun demikian, ketika
mereka menjalaninya dengan penuh kesadaran sekaligus kesabaran.
Keikhlasan sekaligus kecerdasan. Entah mengapa, mereka merasakan ada
kebahagiaan yang tak terkira, terlebih lagi manakala satu di antara
sekian banyak muridnya meraih prestasi, manakala salah seorang alumni
sekolah mengucapkan terimakasih setulus hati, manakala tersiar kabar,
salah satu mantan muridnya menjadi “orang besar”, manakala ada
penghargaan masyarakat atas statusnya sebagai guru, hingga ketika
anak-anak merekapun dapat meraih gelar sarjana bahkan doktor dari hasil
keringat seorang guru.
Menurut
saya, terpaksa atau sukarela bukanlah indikasi seseorang menjadi guru
yang baik, namun kerja nyata dan usaha terencana dalam keseharian di
kelaslah yang menjadi ukurannya. Kepada
Bapak dan Ibu Guru, terpaksa atau dipaksa, engkau tetaplah seorang guru
di mata murid-muridmu. Mereka kini bertebaran di seluruh Nusantara
berkat nasehat, perhatian, sentuhan, kasih sayang, omelan
bahkan hukumanmu dulu. Meski masih banyak yang mencerca profesimu,
tetapi kebanyakan dari mereka masih ingin menghargaimu.
Mungkin
engkaulah orang yang memahami betul sebuah ungkapan patriotis,”Jangan kau tanya apa yang negara bisa berikan kepadamu, tanyakanlah apa yang bisa kau berikan kepada negaramu.” Terima kasih guruku, engkau telah banyak memberi bagi negeri ini, meski ia masih ragu-ragu menghargaimu.
Guruku, Semua baktimu akan ku ukir di dalam hatiku
Sebagai prasasti terima kasihku tuk pengabdianmu
SELAMAT BERJUANG GURU-GURUKU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar